Badriyah misalnya, sudah 14 tahun hidup ‘mapan’ di kolong jembatan Roxy, dengan rumah bedeng ala kontrakan yang dilengkapi dengan ruang tamu dan dapur. Intaian banjir yang kerap datang tak mampu membuatnya pindah ke tempat lain yang lebih layak.
Atau Sapono, pengais gelas dan botol bekas mengaku pada awalnya ia sulit mencari tempat untuk sekedar meluruskan badan. Namun seiring dengan perjuangannya melawan Jakarta, ia pun menemukan tempat yang nyaman di kolong jembatan.
Tak berbeda dengan anak-anak Jakarta lainnya, anak-anak kolong Tol jembatan dua misalnya masih bisa menikmati permainan ding-dong dengan harap dan asa yang ada anak-anak kolong tetap menikmati kehidupan merekan sebagi anak-anak.
Hidup ‘mapan’ di kolong jembatan bukan hal sulit bagi mereka, bahkan berhubungan intim pun bukan menjadi masalah seperti area prostitusi di kolong tol Jembatan Dua, Jakarta Barat. Namun bagaimanapun juga, tak sedikit diantara mereka yang mengakui kekalahan pada kejamnya Jakarta. Seperti yang terjadi di kolong Jembatan Halimun, Manggarai, petugas menemukan jenazah bunuh diri.
Kehidupan ‘mapan’ mereka di ruang-ruang kosong bawah jembatan membuktikan bahwa kebutuhan dunia dapat mereka jalani dalam sebuah ‘jalan buntu’ yang tak berujung. Miris memang, melihat betapa kehidupan mereka adalah fakta lain diantara gemerlap Ibukota, mall-mall megah dan rumah-rumah mewah.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori kata mutiara
dengan judul Menyambung Kisah Hidup Di Kolong Ibukota. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://zeinsee.blogspot.com/2013/06/menyambung-kisah-hidup-di-kolong-ibukota.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
zeinsee - Kamis, 06 Juni 2013
Belum ada komentar untuk "Menyambung Kisah Hidup Di Kolong Ibukota"
Posting Komentar